Hati-hati dengan lisanmu. Begitu kata orang bijak. Lidah memang tak bertulang, tetapi dia bisa meremukkan hati seseorang. Kita mungkin dapat dengan mudah melupakan setiap omongan nan pernah kita tujukan ke orang lain; kawan kah, saudara, siswa, alias apalagi anak kita sendiri. Tetapi tidak dengan mereka nan mendengarkannya. Apalagi jika omongan alias kata-kata itu berkarakter mendakwa, tuduhan, alias lebih parah lagi melabeli (labeling), mencap orang lain dengan konotasi nan negatif. Ucapan nan kau pandang sepele, bisa saja berakibat seumur hidup bagi nan mendengarnya.
Kisah nyata berikut mungkin bisa memberikan gambaran sedikit tentang sungguh dahsyatnya akibat dari sebuah omongan nan melabeli, mencap negatif orang lain. Dan korbannya adalah penulis sendiri.
Sejak bangku Sekolah Dasar, apalagi sebelum itu, saya sangat antuasis dengan pelajaran matematika. Menyelesaiakan teka teki rumus dan nomor sangatlah menikmatkan. Nilai ujian dan tentu saja kitab raport pun membuktikannya. Masa-masa bagus bergulat dengan matematika itu berjalan hingga menamatkan jenjang SMP. Matematika menjadi pelajaran favorit.
Tetapi semua itu berubah semenjak duduk di bangku kelas 1 (satu) SMA. Gairahku pada pelajaran eksakta ini berangsur pudar dan nyaris lenyap. Penyebabnya sepele. Sangat sepele. Di sebuah jam pelajaran matematika, sang pembimbing melempar kuis soal. Selang beberapa menit, dia menanyakan kesanggupan siswa-siswi didiknya untuk menjawab soal tersebut. Sekilas, sang pembimbing memang memberi kesempatan nan sama untuk setiap kepala di kelas itu. Saat tak ada satupun siswa nan berani unjuk jari, tanda bisa dan mau menyelesaikan soal, seketika Pak Guru langsung mengabsen kesanggupan satu persatu muridnya.
“Ayo coba, siapa nan berani maju ke depan, masa soal semudah ini kalian tak bisa?,” ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia sejatinya memang sosok nan humble, pun mahir mengajarkan matematika dengan style santainya, sehingga murid-muridnya tak melulu tegang dengan pelajaran matematika. Tapi saat itu betul-betul tak satupun seisi kelas nan berani ngacung.
“Ayo, siapa nan bisa? Coba Dedy, Anita, Rudi, mana jawabannya? Masa gak bisa sih, coba Andi, Jeremy, Ajeng, Akhmad….Eh, jika Akhmad sih bodoh, pasti nggak bisa lah,” tukasnya disambut pecah tawa seisi kelas.
Mungkin bagi Pak Guru, cletukan itu adalah sepele. Tapi tidak bagiku, perlahan tapi pasti, saya mulai mengurangi gairahku pada pelajaran matematika. Pun sikap ini berkapak pada mata pelajaran eksakta lainnya, satu persatu kutepikan dari prioritas. Aku mulai mengurangi jam belajar di pondok jika sudah berurusan dengan matematika, fisika, kimia, dan apalagi biologi. Nilai-nilaiku di mapel itu pun lebih sering berada di garis periode batas.
Suatu waktu, di kelas dua, saya usil belajar fisika, lantaran besoknya ada ulangan. Tak disangka, esoknya saya dapat nilai 9, sementara teman-teman sekelas justru nilainya rata-rata jeblok. Termasuk anak-anak nan dianggap pintar. Aku senang, bukti bahwa saya tak tolol dengan pelajaran eksakta. Tetapi tidak dengan pembimbing pengampunya. Aku dipanggil ke kantor. Tak ada apresiasi, nilaiku nan tertinggi di kelas justru didakwa hasil mencontek. Uch, sungguh remuknya perasaanku saat itu.
Mungkin tudingan Ibu Guru Fisika bukan tanpa alasan. Salah satunya lantaran saya sering terlambat mengikuti jam pelajarannya nan ada di awal. Saat-saat itu saya memang sering terlambat sampai sekolah dan rutin berlari mengitari lapangan sebagai hukuman. Mungkin itu jadi referensi sang pembimbing sebelum membikin dakwaan. Tetapi, untuk anak seumuranku nan tengah bergejolak, jawaban ekstrem pun kuberikan. “Kalau ibu tidak percaya dengan hasil ulanganku, silahkan, saya siap ikut ulangan lagi. Sendiri. Diawasi,” jawabku kesal. Ibu pembimbing pun memilih luluh dan tak melanjutkan perseteruan denganku.
Masih di kelas dua SMA, suatu waktu pembimbing matematika juga melempar kuis soal. Dalam hitungan 15 menit, semua siswa kudu mengumpulkan hasilnya. Dan soal ini bisa kupecahkan dengan mudah, tetapi sementara nan lain maju menyerahkan hasil, saya urung mengumpulkannya.
Mungkin ada 10 sampai 15 siswa nan sudah mengumpulkan, termasuk anak paling pandai di sekolah. Tiba-tiba, kawan nan duduk tepat di depanku, meminta bukuku, izin menyalin jawabanku. Namanya Teguh, di kelas dia masuk golongan anak-anak nan sering dianggap badung oleh para guru, jarang mengerjakan PR, kadang bolos dan lainnya. Tapi herannya lagi, kenapa dia mau mencontek jawabanku. Padahal dia juga tahu, bahwa di kelas saya tak dipandang pandai matematika. Tetapi entah kenapa, saya pun memberikan jawabanku ke si Teguh dengan senang hati. Mungkin sebagai pembelaan diri, bahwa saya sebetulnya pandai matematika.
Sejurus berikutnya, Teguh pun mengumpulkan jawaban soalnya ke meja guru. Tidak lama, sang pembimbing berdiri di depan kelas sembari menenteng beberapa kitab siswanya. Ekspresinya tampak serius dan menegang. “Kenapa soal seperti ini saja kalian nggak bisa menyelesaikan. Semua jawaban kalian salah, selain satu siswa nan benar. Mana Teguh?”
“Saya, Bu Guru,” timpal Teguh.
“Ya, hanya jawaban Teguh nan benar, nan lain salah!”
Sontak, seisi kelas pun gaduh. Bukan hanya lantaran jawaban mereka salah, termasuk anak-anak nan jago matematika. Tetapi lebih dari itu mereka bingung, kenapa justru jawaban Teguh seorang nan benar. Tanpa komando, seisi kelas pun bertepuk tangan sembari mengelu-elukan nama Teguh, meski dengan citarasa sedikit menyangsikan. “Wah, Teguh mimpi apa semalem, bisa dahsyat gini.” Begitu celetuk siswa di bangku belakang nan disambut gelak tawa.
Teguh pun sembari cengengesan menengok ke belakang, lantas menjulurkan tangannya dengan bahagia.”Thank’s ya Mad, thank you banget.”
Teguh mungkin teramat bahagia, gimana mungkin dia nan sering tak dianggap para guru, sekarang menjadi satu-satunya siswa nan bisa menyelesaikan kuis soal matematika dengan benar. Tetapi Teguh tak pernah tahu, bahwa saya jauh lebih senang dari dia. Paling tidak inilah bentuk perlawananku terhadap label tolol nan disematkan pembimbing matematika di kelas satu dulu.
Cerita ini bukan apa-apa, tidak lebih dari sebuah pengalaman mini di masa lalu. Tetapi jikalau ada nan kudu di-underline, tidak lain adalah soal dahsyatnya akibat dari sebuah labeling. Pak pembimbing nan mengatai saya tolol itu tentu saja sudah lupa dengan kejadian mini ini, tetapi tidak dengan saya nan kudu menanggung kenangan jelek itu sampai saat ini, mungkin seumur hidup. Tentu saja saya telah sejak lama mengampuni sang guru. Tetapi untuk melupakan, agh, sepertinya sulit.
Setiap kata-kata nan meluncur dari mulut kita, mungkin teramat mudah terkubur dalam tumpukan isi kepala. Tetapi apa nan dikatakan dan kepada siapa kata-kata ditujukan, kita tak pernah betul-betul bisa mengontrolnya. Bahkan meski ungkapan kita tidak lebih dari jokes pengisi obrolan, jika ada indikasi melabeli negatif, bisa saja dia bakal kekal dalam ingatan nan mendengarnya.
Ya seperti sang pembimbing matematika itu, ucapannya mungkin dimaksudkan guyon. Tetapi saya mengenangnya sebagai cap negatif nan abadi. Dan lagi, ungkapan sepelenya itu telah membikin anak nan sejak mini mencintai matematika, menjadi membenci matematika. Dahsyat bukan?!
Semoga kita tak mudah mengucapkan label-label jelek untuk orang lain, terutama anak-anak kita. Karena kata-kata nan sudah terlanjur menancap di hati orang lain itu teramat mustahil untuk direvisi. Saat itulah kita menginsafi, bahwa kita tak berkekuatan mengontrol akibat dari omongan kita. Tabik! []