Pernah di-bully kawan lantaran cita-citamu dianggap ketinggian? Jangan baper apalagi minder ya, lantaran Anda tak sendirian. Sebagian orang-orang sukses juga dulunya tak sunyi dari nyinyiran dan hinaan. Nah, sebagai penyemangat kamu-kamu nan sedang memperjuangkan angan besar, ada baiknya menyimak perjalanan hidup Houtman Zainal Arifin, seorang laki-laki nan masuk ke Citibank sebagai office boy dan 19 tahun kemudian pensiun dalam posisi puncak, ialah Vice President namalain CEO Citibank Indonesia.
Houtman nan lahir dari family dengan ekonomi pas-pasan, memutuskan hijrah ke Jakarta selepas SMA. Dia mau mengubah nasib, memimpikan hidup sukses. Tapi realita tak pernah semudah impian, Houtman muda pun kudu berjuang keras sekadar memperkuat hidup di Ibukota. Dia mengirimkan surat lamaran ke setiap perkantoran megah, berambisi suatu waktu bakal sukses di perusahaan tersebut. Saat ayahnya sakit dan butuh duit untuk berobat, Houtman nan belum mendapatkan pekerjaan memilih turun ke jalan menjadi pedagang asongan. Berbekal duit Rp 2.000,- hasil pinjaman teman, dia berdagang perhiasan imitasi di jalan raya hingga kolong jembatan.
Usahanya mulai menunjukkan hasil. Tapi belum lama Houtman menikmati hasil berjualan, ujian pun datang. Untuk pertama kalinya, dia kudu berhadapan dengan petugas Kamtibmas (Sekarang mungkin Satpol PP) nan membikin setiap pedagang asongan berlarian. Belum sempat lari, peralatan dagangan Houtman sudah berceceran diterjang petugas, jatuh ke tanah becek, sebagian terinjak-injak sepatu petugas.
Houtman pun terkenang ‘dialognya’ dengan Tuhan saat kejadian diterjang Kamtib. Memunguti peralatan dagangannya nan berceceran sembari mbrebes mili, Houtman sempat protes ke Tuhan. “Ya Allah, kok berat banget ujiannya. Baru juga memulai usaha, lancar dagang, kok sudah diuji begini,” batinnya. Seketika itu, dia seolah mendengar Tuhan memberikan pelajaran di hadapannya.
“Jangan cengeng, Kita lagi berbual ini,”
“Bercanda-bercanda, tapi jangan begini banget dong,” jawab Houtman.
Tuhan lantas menimpalinya lagi. “Pilih mana, mau dibercandaian apa didiamin,”
Dia juga mengingat betul setiap perincian kejadian sembari menghayati ujian nan sedang menimpanya. Semisal segmen slow motion, Houtman mengingat saat berupaya memungut dagangannya nan berjatuhan, berjongkok, lampau sepatu pantofel petugas Kamtib menginjak dagangannya. Saat itulah dia merekam sekaligus mendendam situasi getir tersebut. “Saat saya sukses nanti, saat saya punya kedudukan, saat saya berada di posisi atas, tak sekali-kali saya bakal menindas mereka nan di bawah,” batinnya.
Houtman menginsafi betul situasinya, bahwa kondisi orang-orang nan sedang mendapat kedudukan tinggi, mempunyai kekayaan, kewenangan, dan alias sejenisnya, selalu rentan untuk menindas, bersewenang-wenang terhadap nan di bawah. Maka pengalamannya dilibas petugas Kamtib justru melahirkan tekad kuat, bahwa jika kelak Allah menganugerahkan kesuksesan untuknya, dia mau bertindak sebaliknya: memanusiakan manusia-manusia nan tak beruntung.
Dialog ketiganya, pun berjalan saat dia sedang meratapi peralatan dagangannya nan berjatuhan. Tiba-tiba, teman-teman seperjuangan nan selama ini hidup susah berbareng di jalanan datang dan membantu merapihkan barang-barangnya nan tercecer. Saat itu juga Houtman merasa orang-orang mini lah nan memerdulikan nasibnya nan kepayahan.
Insiden itu tentu saja cukup memukul semangatnya nan tengah merintis usaha. Tapi Houtman tak patah arang. Dia justru kian termotivasi untuk menjadi sukses. Setiap kali rehat di kolong jembatan, dia selalu mengawasi mobil-mobil mewah nan melintas di hadapannya. Pemandangan nan kian menggairahkan mimpinya menjadi orang sukses. Orang kaya nan bisa naik mobil mewah, punya banyak uang, dan kedudukan terpandang.
Lagi-lagi, motivasinya untuk sukses bertambah. Houtman kian serius mengirimkan surat lamaran ke banyak perkantoran di Jakarta. Suatu waktu, pemandangan orang gila nan mondar mandir di dekat rumah mencuri perhatian Houtman. Badannya lusuh, rambutnya awut-awutan, pakaiannya penuh koyak. Di tengah kesulitannya berjuang di ibukota, Houtman rupanya tak menutup mata. Dia memutuskan menghadiahi orang gila itu dengan sepasang baju, sabun, plus sisir.
Padahal, di lemarinya, Houtman hanya mempunyai tiga stel pakaian. Tetapi kondisi susah tak menyurutkan kepeduliannya.
Tetapi siapa sangka, keajaiban datang setelah peristiwa tersebut. Orang gila nan ditolongnya adalah washilah, menjadi jalan alias pintu pembuka suksesnya. Tepat tiga hari setelah kejadian itu, surat panggilan kerja pun datang. Tak kepalang tanggung, nan mengundang adalah sebuah bank terkemuka bumi asal Amerika, The First National City Bank (Citibank). Meski hanya diterima sebagai office boy, Houtman girang bukan main. Impiannya untuk bekerja di kantoran, terlebih di sebuah perusahaan ternama dengan instansi megah, akhirnya kesampaian.
Houtman tak pernah capek berupaya dan terutama belajar. Saat akhirnya diterima sebagai office boy di Citibank, dia tak malu belajar ke petugas photocopy instansi sembari membantunya. Kualitasnya sebagai pembelajar terus dia tunjukkan, tak puas dengan keahlian nan ada.
Salah satunya saat Houtman penasaran dengan kegiatan training nan sering dilakukan di kantornya untuk para karyawan. Sebagai office boy, dia memang tidak dianggap oleh Training Officer –nya, tetapi Houtman bergeming. Setiap hari dia menyempatkan diri menguping dari luar ruangan, sembari mencatat semua materi. Lama-lama Training Officer pun jengkel dan menyuruhnya masuk dengan kasar. “Pengumuman, dia tidak terdaftar sebagai peserta training dan tidak bakal diuji,” katanya.
Houtman pun marah, dia merasa sudah menjadi peserta training, sehingga kudu diuji juga. Dia sebetulnya sadar, keahlian Bahasa Inggrisnya nol, pun saingannya bukan main, dari beragam universitas terkemuka, nasional maupun internasional. Tetapi semangat belajar dan keinginannya sukses mengalahkan itu semua. Dia berkeinginan untuk lulus sebagai pembuktian diri.
Benar saja, dari 34 peserta training, Houtman pun lulus dan apalagi masuk empat besar terbaik. Maka pada tahun 1978 dia dikirim ke Eropa. Selepas itu, dia akhirnya diangkat menjadi karyawan. Sebuah loncatan nan tak lazim, gimana mungkin seorang office boy bisa menjadi tenaga kerja sebuah bank ternama.
Semangatnya belajar plus kepeduliannya pada sesama pun membikin karirnya melesat. Puncaknya adalah 19 tahun setelah bekerja di Citibank, Houtman menduduki kedudukan tertinggi di Citibank Indonesia, ialah sebagai Vice President namalain CEO. Totalitas mimpi, totalitas belajar, ikhtiar, dan kepeduliannya telah menghantarkan Houtman pada posisi puncak, sebuah kedudukan nan memecahkan rekor. Sulit untuk mencari padanannya di era sekarang, seorang nan masuk sebagai office boy, kaluar dari perusahaan dengan posisi tertinggi di perusahaan tersebut.
Sebuah lompatan nan bagi banyak orang dianggap sebagai mission impossible. Karena Houtman nan menjadi Vice President itu memulai karir dari nol, menjadi pegawai rendahan.
Tetapi nyatanya Houtman bisa melawan kemustahilan sekaligus mungkin memecahkan rekor jenjang karir paling fenomenal di Indonesia. Dia adalah contoh nyata dari ungkapan From zero to hero. Dari bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa menjelma menjadi orang besar. Perjalanan hidupnya betul-betul menyentuh dan layak jadi rule model bagi anak-anak ayah nan serba terbatas akses dan sumber daya tetapi memimpikan kesuksesan di masa depan.
Nah, setelah membaca kisah hidup Houtman ini, gimana emosi teman-teman? Masih mau baper lantaran dihina dan diremehkan? Semoga kisah ini bisa jadi power booster ya, bahwa sebesar dan seberat apapun impianmu, kesungguhan selalu membukakan jalan. Tetap semangat para pejuang masa depan! (*)
___________
Tulisan disarikan dari kitab “Lawan Minder Raih Sukses”