— Tuhan Uang —
Oleh: Dahlan Iskan
Rabu 07-12-2022,04:00 WIB
PARA calon master ahli ini berbincang langsung dengan menteri mereka: Budi Gunadi Sadikin. Selama dua jam lebih. Lewat zoom. Kemarin malam.Yang dibicarakan begitu banyak: termasuk soal darah biru, insentif, dan siapa nan semestinya melahirkan dokter.
Dokter Jagadhito, nan baru lulus ahli jantung, tidak setuju dengan pernyataan Menkes bahwa hanya nan punya darah biru nan bisa ikut program spesialis.”Ini bukan soal darah biru. Ini lebih lantaran menjadi ahli itu biayanya mahal. Hanya nan punya duit nan bisa ikut spesialis,” kata Jagadhito nan lulus dari FK Unair tapi mengambil ahli jantung di UGM.
Putra mantan rektor ITS ini menjadi residen di RSUP dr Sardjito Yogyakarta.
Ia menunjukkan foto temannya nan bekerja di pusat kesehatan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ibunya janda. Ia tidak berani menjadi spesialis. Itu lantaran dia tetap kudu membiayai adik-adiknya.
Menkes tidak menolak pendapat Jagadhito. Tapi dia juga mengemukakan pengalaman pribadinya.
“Saya ini begitu banyak dimintai rekomendasi oleh mereka nan mau masuk spesialis,” kata Budi Sadikin. “Mereka bilang, tanpa rekomendasi itu bakal kalah dengan nan punya darah biru kedokteran,” tambahnya.
Soal mahalnya biaya menjadi ahli diceritakan Jagadhito. Sambil separuh protes. Ia seperti membawa aspirasi sesama residen –dokter nan magang di rumah sakit sebagai proses menjadi spesialis.
Dokter residen itu biasanya ditugaskan di malam hari. Sampai pagi. Selesai tugas belum bisa pulang. Harus membikin laporan: apa saja nan dilakukan sepanjang malam. Lalu membikin tesis. Setelah itu baru bisa istirahat.
Apalagi selama Covid-19. Ketika banyak master ahli ”takut” ke rumah sakit. Praktis master residen nan mau tidak mau menjadi ujung tombak. Mereka tidak berani takut. Mereka mau segera lulus menjadi spesialis.Rumah sakit adalah bangku kuliah bagi para calon spesialis. Tidak perlu pergi ke universitas. Sering dengan bangga mereka mengatakan ”jadi master residen itu lebih sibuk dari dokternya”. Mereka tidak seperti sedang kuliah. Mereka sudah seperti master tetap di rumah sakit. Tapi, sebagai mahasiswa, mereka tetap kudu membayar duit kuliah. Kalau ditotal, SPP-nya saja, bisa mencapai Rp 150 juta. Maka inilah master nan tidak bisa cari duit lantaran kuliah, bekerja penuh sebagai master di rumah sakit, tetap kudu membayar pula.
Itu menjadi salah satu penyebab kenapa susah mencetak spesialis. Akibatnya jumlah master ahli sangat kurang.
Menkes tidak sependapat jika persoalannya bukan jumlah melainkan penyebarannya. “Saya siap berdebat dengan siapa pun soal ini. Asal debat ilmiah. Pakai data,” katanya. “Penyebarannya memang kurang bagus. Tapi jumlahnya juga sangat kurang,” katanya. Di forum itu lantas dibicarakan soal keahlian universitas memproduksi spesialis. Jumlah fakultas kedokteran hanya 92. Yang punya ahli hanya 20. Kemampuan tiap tahunnya sudah terbukti segitu. Bagaimana bisa mengejar kekurangan spesialis. “Sampai kita meninggal pun belum bakal terkejar,” kata Budi Sadikin. “Kita ini sudah 77 tahun merdeka. Mengapa belum juga bisa memenuhi petunjuk kemerdekaan,” tambahnya.
Maka Menkes berkeinginan bakal mengubah semua itu. Sudah terbukti: dengan langkah sekarang ini tidak bakal bisa mencetak ahli nan cukup. Maka sejenak lagi nan bekerja mencetak ahli bukan lagi fakultas kedokteran. Tugas itu beranjak ke rumah sakit. Yang meluluskan ahli bukan lagi fakultas kedokteran, tapi rumah sakit. Bukan kementerian pendidikan tapi kementerian kesehatan. “Yang merasakan perlunya ahli adalah rumah sakit. Toh kuliah mereka juga di rumah sakit,” katanya.
Maka, jika nan mencetak ahli kelak bukan lagi universitas mereka tidak perlu lagi membayar duit kuliah. “Dan lagi, jumlah rumah sakit jauh lebih banyak daripada fakultas kedokteran,” ujar Budi Sadikin.
Kalau ”university base” betul-betul berganti menjadi ”hospital base” ini sebuah transformasi nan besar di bumi kedokteran dan kesehatan.
Menkes pun blak-blakan mengungkapkan: kenapa universitas sebesar Gadjah Mada tidak punya program ahli paru. “Itu hanya lantaran prodi penyakit dalam tidak rela ada program ahli paru,” katanya. “Ini sangat tidak masuk akal. Tidak ilmiah sama sekali,” tambahnya.
Hal serupa terjadi di Universitas Sriwijaya, Palembang. Di sana tidak bisa membuka ahli jantung. “Penyebabnya hanya lantaran program ahli lain tidak setuju,” katanya.
Sentimen-sentimen seperti itu tidak bakal terjadi jika untuk menjadi ahli sudah beranjak ke ”hospital base”. “Toh di beragam negara memang begitu. Semua melakukan hospital base,” katanya. Maka Menkes berkeinginan bakal membuka program ahli di Papua. Ia mendengar banyak nan mengingatkan soal kualitas dokternya nanti. Tapi dia mengusulkan pertanyaan nan kudu dijawab: so what? “Apakah kita membiarkan begitu saja mereka ditangani dukun?” katanya. “Meski hasilnya nanti, katakanlah, tidak sebaik nan di Jawa, pasti tetap lebih baik dari dukun,” tambahnya sembari menahan senyum.
Menkes juga mengatakan: bakal merombak sistem teknologi di seputar lab dan apotek. “Nanti informasi dari lab dan toko obat kudu masuk ke dalam satu sistem digital,” katanya. “Data itu bakal terhimpun dalam big informasi nan bisa dipertukarkan,” tegasnya.
Dengan demikian seluruh hasil pemeriksaan darah, USG, rontgen, CT scan, MRI, dan seterusnya bakal menjadi satu informasi nasional bagian kesehatan. Dari sini peta penyakit di Indonesia bakal bisa dianalisis.
Posyandu pun bakal direvitalisasi. Termasuk bakal diberi perangkat rapid test untuk mendeteksi beberapa penyakit. Dengan demikian posyandu bisa mendeteksi penyakit masyarakat jauh lebih dini. Keperluan pergi ke lab nan biayanya lebih mahal pun berkurang.
Salah satu residen dari Bukittinggi menyampaikan soal bully dari senior. Namanyi: Diniy Miftahul. Dia lulusan Universitas Andalas Padang nan mau jadi ahli kandungan. “Sudah waktunya diakhiri,” ujar Diniy.
Menkes sudah mendengar semua corak bully seorang senior pada residen. Mulai dari disuruh beli makanan, mencarikan lapangan untuk olahraga, sampai minta dibelikan sepatu. “Tolong Diniy nanti, jika kelak jadi senior, jangan melakukan itu,” pinta Menkes.
Dalam proses pendidikan spesialis, senior (mentor) memang sangat menentukan. Senior itu nan mendidik, membina, mengarahkan, menularkan ilmu, sampai memberikan nilai. Bully itu rupanya sudah turun-temurun. Yang mem-bully itu dulunya juga di-bully.
Begitu banyak nan ikut obrolan di forum zoom tersebut. Juga merata. Dari semua provinsi. Mulai Aceh sampai Papua. Inilah forum pertama dalam rangka transformasi bagian kesehatan. “Saya mau mendengarkan langsung dari para dokter,” katanya kepada Disway.
Dulu dia pernah melakukan kegiatan serupa tapi terkait dengan penanganan Covid-19.Memang sejak ada otonomi daerah ada sisi negatif soal penempatan dokter. Tapi Budi Sadikin sudah menemukan cara: “Daerah nan tidak memberi penghasilan nan baik bagi ahli bakal kami kunci. Anggaran dari pusat untuk proyek rumah sakit daerah tidak bisa dicairkan,” katanya.
Sanksi lewat duit itu bakal dilakukan dengan argumen ini: orang itu tidak hanya takut kepada Tuhan, tapi juga kepada uang. (Dahlan Iskan)