Mencintai alias membenci itu sewajarnya saja. Jangan over, jangan lebay. Begitu pesan Nabi Saw nan sering kita dengar. Karena hati (qalbu) manusia memang bisa banget dinamis, berbolak balik. Bagaimana jika siapa alias apa nan Anda cintai hari ini, lantaran dinamika tertentu, besok menjelma menjadi sosok alias perihal nan kita benci. Pun sebaliknya, apa nan Anda tidak suka bisa saja besok jadi penyelamatmu.
Tetapi nasehat bijak ini seringkali kurang berarti dalam situasi normal. Suatu hari saat Anda sedang banget antusias menceritakan orang nan Anda cintai, alias tokoh nan Anda idolai, alias kawan baru nan telah membuatmu bersimpati, lampau seorang kawan dengan guyon menimpali; Awas, jangan lebay cerita kebaikannya, besok-besok jika dia rupanya begini begitu, tar kecewa.” Dan besar kemungkinan celetukan temanmu ini auto merusak vibe -mu, membuatmu jadi tidak nyaman.
Sebaliknya, di hari lainnya, saat sedang emosional menceritakan seseorang nan Anda benci, menguliti daftar keburukannya dari A sampai Z, seorang bestie mencoba mentralisir. “Udah ah, jangan over gitu membencinya, tar besok jatuh cinta Anda nan canggung sendiri.” Yang mungkin terjadi selanjutnya adalah Anda minimal jengkel dengan sohibmu nan dianggap sok bijak itu, alias akibat terparah adalah Anda menambah daftar orang nan Anda benci, ya si bestiemu tadi itu.
Mungkin begitulah tabiat manusia, kita semua, potensinya selalu serupa itu. Saat kita tengah larut dengan satu hal, kita bakal kesulitan menerima opsi lain nan sebaliknya. Hatinya bakal resisten, gimana mungkin cinta menjadi benci, tidak suka menjadi cinta, simpati menjadi antipati? Begitulah gejolaknya, sampai tahap di mana realita hidup rupanya berbicara sebaliknya.
Sekarang mari bicara tentang tikus. Ini adalah hewan nan banget saya benci, lantaran sering bikin emosi. Di rumah besar dan berumur nan saya tempati, tikus sering berulah. Mulai mengobrak abrik sisa sampah di dalam rumah, mencuri makanan di atas meja, sampai bunyi derit dan tindakan balapan ala mereka di genting rumah nan entah kenapa selalu sukses membikin tensi sedikit naik. Belum lagi kotoran nan dia tinggalkan di perspektif rumah alias kolong meja dan lemari.
Maka setiap kali kegiatan tikus terpantau mata, jangan tanya apa nan kulakukan. Yang pertama kucari adalah sapu alias kayu, lantas berjalan lah proses kejar-kejaran selayaknya Tom and Jerry. Ini adalah kombinasi sempurna antara benci, tindakan balas dendam, dan kadang kesewenang-wenangan. Tentu saja jika perburuannya suks dan tikus tekapar, tidak mati, lampau kita buang di kebon tetangga (Yang ini jangan ditiru yak).
Lalu apa nan terjadi jika buruan kita lepas, dan mungkin ini nan lebih sering terjadi? Ya biasa saja sih, paling hanya capek dan ngos-ngosan. Itu indikasi klinis ringannya. Yang terberat tentu saja kebencian dan kemarahan kita nan bisa meningkat eksponensial, plus emosi gelo sedikit lah.
Nah, suatu hari, saya merebus air dengan ketel berteknologi uap seperti kereta api tempo dulu. Hanya saja si ketel itu sudah tak mengeluarkan bunyi, mungkin sudah capek dimakan usia. Dan seperti menjadi kebiasaanku dan mungkin kalian, setelah gas dinyalakan, ditinggal dong. Mosok mau ditungguin, kaya orang lairan aja.
Sambil menunggu mendidih, kutinggal ngetik di ruang tengah. Masalahnya, jarak ruang tengah dengan dapur ini lumayan jauh gaes, ya sekitar 12 meter. Masalah kedua, jika sudah ngetik, ngopi, sembari menikmati songlist hasil algoritma youtube, mendadak saya suka amnesia, lupa daratan, eh rebusan. Singkat cerita, setelah kurang lebih separuh jam, terdengar bunyi tikus nan sepertinya sedang beraksi, menyisakan bunyi glotak glotak dari arah dapur. Sontak terprovokasi dong, tapi lantaran sedang enak-enak menulis, ya responnya hanya nengok ke arah dapur nan tertutup tembok leter L.
Hanya tengokan sesaat, dan mata kembali menghadap layar monitor. Tetapi mendadak seperti ada pemandangan nan terlewatkan, nengok lagi ke arah belakang. “Kok belakang terang banget ya,” batinku. Belum sempat kaki beranjak, bunyi keras terdengar. “Duaarrr”.
Astaghfirullah, spontan lari ke belakang. Api berkobar besar di atas tungku gas, membakar ketel nan tak lagi bertutup. Sementara ujung lehernya nyaris lenyap dilalap api. Mataku menyapu sekitar, dan tutup ketel sudah tak bernyawa di bawah rak piring. Tubuhnya nyaris gosong seluruhnya, bagian bermaterial plastik sudah meleleh. Mungkin bunyi ledakan tadi berasal dari tutup ketel nan terlempar lantaran tak kuat menahan tekanan panas dari sisa-sisa air dalam ketel.
Aku nan sejak dulu takut dengan gas, memilih mengambil kain bekas, membasahinya dengan air, lampau kulempar dari jarak 2 meteran ke arah kobaran api. Alhamdulillah, api tak lagi berkobar, meski belum betul-betul mati. Barulah kuberanikan mematikan gas. Klik, dan musibah pun berhujung antiklimaks.
Aku duduk di lantai dengan ketegangan tersisa, nafas tetap ngos-ngosan. Setelah sedikit tenang barulah kembali ke ruang tengah. Dan dalam langkah kaki nan gontai itu, bunyi deritan tikus terdengar. Tapi sungguh, saya tak berkeinginan menoleh apalagi mengejarnya. Aku tahu, para tikus itu mungkin sedang bergosip tentang kisah terbakarnya ketel kami.
“Makanya, jika sebel jangan lebay bro. Tadi jika kami tak bersuara, entah apa nan bakal terjadi dengan ruang dapurmu….” Begitu mungkin bisik tikus mengirimkan gelombang makna.
Di depan monitor, saya tetap bengong. Memikirkan ucapan sang pengerat, sembari memegangi mouse dengan penuh kasih sayang. Tabik! []